Contoh Kasus Pelanggaran Ham Internasional – Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) merupakan hak asasi yang dimiliki setiap orang. Artinya, hak asasi manusia setiap orang harus dilindungi tanpa memandang kebangsaan, etnis, kelompok agama tertentu, dan lain-lain. Negara bertanggung jawab atas landasan hak asasi manusia. Hal ini didasarkan pada hubungan kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat. Artinya, selain hak dan wewenang yang dimiliki negara terhadap masyarakat, tidak hanya berhenti pada hak dan wewenang saja, namun negara juga mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melindungi masyarakatnya, termasuk setiap orang yang berada di bawah yurisdiksi negara. menurut yang terkena dampak.
Hak asasi manusia bersifat universal, artinya berlaku untuk semua orang. Universalitas hak asasi manusia mengarah pada standar internasional yang mengatur hak asasi manusia. Dalam hukum hak asasi manusia internasional, tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya, termasuk setiap orang yang berada dalam yurisdiksinya, terbagi dalam tiga (tiga) jenis kewajiban, yaitu:
Contoh Kasus Pelanggaran Ham Internasional
Itu berarti janji rasa hormat. Negara diharapkan tidak mengambil tindakan apa pun yang mengganggu atau menghalangi pelaksanaan hak asasi manusia bagi semua orang.
Problematika Ham Pada Masa Pandemi Covid 19
Artinya negara mempunyai kewajiban untuk melindungi terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Artinya negara wajib menindak pejabat publik maupun pihak lain apabila ditemukan pelanggaran hak asasi manusia.
Ketiga tugas tersebut tidak terpisah satu sama lain, melainkan saling berkaitan. Hal ini dimaksudkan agar tidak saja negara tidak melanggar hak asasi manusia, namun diharapkan juga negara mampu menindak pihak-pihak yang melanggar hak asasi manusia dan menyediakan lembaga legislatif, baik administratif maupun infrastruktur yang memungkinkan terpenuhinya hak asasi manusia. tujuan-tujuan ini untuk mendukung hak asasi manusia.
Tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya, termasuk setiap orang yang berada dalam yurisdiksinya, tidak berarti bahwa tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia berada di tangan negara saja. Tanggung jawab negara di sini berarti tanggung jawab atas kepatuhan dan penegakan hukum. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hanya pemerintah yang mempunyai kewenangan. Misalnya, hanya lembaga legislatif yang dapat mengeluarkan undang-undang bersama dengan lembaga eksekutif, atau hanya polisi yang dapat menangkap pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Di sisi lain, masyarakat secara umum juga mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi setiap orang, mengakui bahwa setiap orang adalah pribadi yang mempunyai hak asasi manusia dan harus dihormati.
Sedangkan mengenai hak asasi manusia mengandung prinsip dasar yaitu prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan. Pada dasarnya pelanggaran HAM terjadi karena diskriminasi. Diskriminasi mengacu pada segala bentuk diskriminasi, pengucilan dan pembatasan terhadap orang atau kelompok tertentu. Tindakan diskriminasi ini berdampak pada individu atau kelompok tertentu, sehingga menghalangi mereka untuk menikmati hak asasi manusia secara adil dan penuh. Instrumen hak asasi manusia internasional umumnya menggunakan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat, pendapat politik dan lainnya, asal usul, etnis, properti, kelahiran dan status lainnya sebagai dasar diskriminasi. Dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional, diskriminasi atas dasar praktik umum tidak dikecualikan ketika menyebutkan status yang berbeda. Penyebutan status lain bersifat terbuka sehingga dapat juga diartikan sebagai diskriminasi berdasarkan usia, orientasi seksual, misalnya lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), kebangsaan, disabilitas, dan lain-lain. Jika tindakan diambil karena alasan-alasan di atas, tidak semua orang atau kelompok akan bisa mendapatkan manfaat penuh dari hak asasi manusia. Namun, ada juga pelanggaran HAM yang tidak didasari oleh diskriminasi, melainkan karena negara mengabaikan HAM atau melakukan intervensi terhadap pelanggaran HAM. Permasalahan terkait pelanggaran HAM salah satunya terjadi di Myanmar.
Aceh Dan Pelanggaran Ham Yang Tak Kunjung Terselesaikan: Problem Pembatasan Ham Dalam Keadaan Darurat
Artinya, lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut “PBB”) yang bertanggung jawab di bidang hak asasi manusia mengatakan bahwa Myanmar merupakan salah satu negara etnis moderat di Asia. Berdasarkan hukum dalam negeri Myanmar disebutkan terdapat 135 (seratus tiga puluh lima) suku bangsa yang terbagi dalam 8 (delapan) suku besar yaitu Bamar, Chin, Kachin, Kayah, Kayin, Mon, Rohingya. dan kelompok etnis Shan. Dari segi agama, di Myanmar, 90% (sembilan puluh persen) penduduk Myanmar beragama Budha, 4% (empat persen) beragama Islam, 4% (empat persen) beragama Kristen, dan kurang dari 2% (dua persen) beragama Hindu. Mayoritas penduduk Muslim Myanmar berasal dari etnis Rohingya. Namun Myanmar belum mengakui etnis Rohingya sebagai kelompok etnis nasional. Jika dilihat di peta, suku Rohingya terletak di wilayah Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh.
Tidak diakuinya kelompok etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar oleh pemerintah Myanmar mempunyai latar belakang sejarah. Myanmar menganggap kelompok etnis Rohingya adalah imigran ilegal yang baru datang ke Myanmar setelah Myanmar merdeka. Namun terdapat bukti bahwa etnis Rohingya sudah ada di Myanmar sejak lama, tepatnya pada saat Myanmar masih berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris. Kelompok etnis Rohingya diterima di Myanmar sebelum kemerdekaan. Kelompok etnis Rohingya diakui sebagai kelompok etnis asli di Myanmar. Namun sejak tahun 1962, saat itulah muncul pemerintahan militer di Myanmar dan dilatarbelakangi oleh adanya peraturan perundang-undangan domestik Myanmar tentang kewarganegaraan atau biasa disebut.
Berbagai bentuk diskriminasi terhadap etnis Rohingya juga terjadi di Myanmar. Myanmar menganggap kelompok etnis Rohingya tidak ada hubungannya dengan Myanmar. Rohingya adalah imigran gelap, mereka tidak memiliki hubungan budaya atau agama karena mayoritas warga Myanmar beragama Buddha. Selain itu, pemerintah Myanmar juga melakukan diskriminasi terhadap etnis Rohingya dalam hal kewarganegaraan. Pada tahun 2014, Myanmar melakukan sensus pertama dalam 30 (tiga puluh) tahun. Namun kelompok etnis Rohingya tidak dihitung dalam sensus. Tidak diakuinya kelompok etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar berarti bahwa mereka pada dasarnya tidak dapat memperoleh manfaat dari hak asasi manusia yang mendasar, yaitu hak atas pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Selain mendiskriminasi kelompok etnis Rohingya, Myanmar juga melakukan diskriminasi terhadap banyak kelompok etnis lainnya. minoritas, umumnya mereka yang merupakan etnis-agama minoritas. 8 (delapan) kelompok etnis yang diakui dalam hukum domestik Myanmar juga mengalami diskriminasi. Misalnya, suku Kaman juga mengalami diskriminasi karena secara agama, suku Kaman mewakili agama minoritas, yaitu Islam. SAYA
Dengan berdirinya Myanmar, berbagai jenis kewarganegaraan dibedakan dan secara implisit terdapat spesialisasi pada suku mayoritas yaitu suku Bamar yang sebagian besar beragama Buddha.
Tanggung Jawab Komando/atasan Dalam Kasus Pelanggaran Ham Berat Menurut Hukum Internasional Dan Hukum Indonesia (command/superior Responsibility In Case Of Gross Violation Of Human Rights Under International Law And Indonesian Law)
Sikap terhadap etnis Rohingya yang dianggap imigran ilegal berujung pada tindakan diskriminatif sejak tahun 1970-an. Tindakan diskriminatif ini diperburuk dengan ketentuan dalam negeri, yaitu
Pada tahun 1982. Sentimen ini membuat pemerintah militer Myanmar mengambil langkah untuk mengusir kelompok etnis Rohingya dari Myanmar. Berbagai pelanggaran HAM dilakukan secara sistematis, mulai dari berbagai penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan terhadap perempuan di wilayah tempat tinggal etnis minoritas, pembunuhan, kerja paksa, perampasan tanah, deportasi dari suatu tempat dan kemudian dipindahkan ke tempat lain. Dalam kasus lain, hak-hak dasar seperti hak atas pendidikan dan kesehatan tidak dapat dilaksanakan, dan hak untuk menjalankan agama dibatasi karena banyak tempat ibadah etnis Rohingya dan banyak madrasah yang dirusak. Tindakan keras pemerintah militer Myanmar terhadap etnis Rohingya dan etnis minoritas mencapai puncaknya pada tahun 2012 dan berdampak besar, berlanjut dari tahun 2016 hingga 2017. Sejak itu, tidak ada kabar internasional mengenai pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok etnis Rohingya, meskipun pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi. untuk waktu yang lama. Dampak dari pelanggaran HAM tersebut juga menyebabkan banyak etnis Rohingya yang mengungsi ke negara tetangga, terutama Bangladesh, karena Bangladesh merupakan negara yang berbatasan dengan Myanmar. Selain itu, ada juga etnis Rohingya yang mengungsi ke Indonesia. Yang paling menyedihkan, banyak warga Rohingya yang mencoba melarikan diri ke negara lain namun malah kehilangan nyawa di tengah perjalanan, misalnya karena tenggelam di laut. Sebab, banyak di antara mereka yang melarikan diri menggunakan perahu.
Terkait informasi pelanggaran HAM di Myanmar, Myanmar enggan memberikan akses media terhadap fakta atau informasi pelanggaran HAM di Myanmar. Namun banyak upaya yang telah dilakukan
(selanjutnya disebut LSM), PBB dan lembaga internasional untuk mencari data terkait pelanggaran HAM di Myanmar. Upaya-upaya ini menghasilkan laporan dari organisasi non-pemerintah dan PBB mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar yang dapat digambarkan sebagai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini didukung oleh pernyataan PBB yang menyebutkan hal itu termasuk tindakan Myanmar
Pelanggaran Ham Berat Di Indonesia Dan Impunitas Yang Mengelindaninya
Selain masalah pelanggaran terhadap etnis Rohingya, juga akan ada masalah demonstrasi di Myanmar pada tahun 2021. Permasalahan demonstrasi yang terjadi tidak terlalu terkait dengan pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya. Namun menurut laporan yang ada, terdapat satu kesamaan di antara kedua kasus tersebut, yaitu represi yang dilakukan oleh kekuatan pemerintahan militer. Di satu sisi, kelompok etnis Rohingya mengalami genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di tangan tentara Myanmar. Namun tindakan tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah militer, melainkan misalnya oleh kelompok pihak ketiga yang mendapat izin dari pemerintah militer Myanmar. Di sisi lain, demonstrasi tahun 2021 memicu kudeta junta militer terhadap pemerintahan sipil. Peristiwa ini bermula pada tahun 2011 ketika sebagian besar wilayah Myanmar dikuasai pemerintah militer. Hal ini memunculkan berbagai upaya untuk mereformasi pemerintahan dengan menyelenggarakan pemilu yang demokratis. Namun pada Februari 2021, junta militer menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Selain itu, banyak yang menghadapi pelanggaran hak asasi manusia ketika pengunjuk rasa menyatakan haknya untuk menyatakan pandangan menentang kudeta, seperti dibunuh atau ditangkap oleh pemerintah militer karena dianggap anti pemerintah. Oleh karena itu, benang merah dari kedua permasalahan ini adalah tekanan pemerintah terhadap etnis Rohingya dan etnis minoritas lainnya di Myanmar. Sementara itu, saat terjadi demonstrasi, pemerintah terkesan menekan demokrasi dan kebebasan berekspresi masyarakat.